Kisah Ibu Prita
Mulyasari
Salah satu contoh kasus dari kelalaian seorang analis ialah kasus
mengenai seorang wanita bernama Prita Mulyasari yang kasusnya sangat
marak diberitakan di media belakangan ini. Kasus yang menimpa Ibu Prita
Mulyasari yang dituntut oleh Omni International Hospital Tangerang atas
dasar pencemaran nama baik dan sempat ditahan di LP Wanita Tangerang
sebelum akhirnya mendapat penangguhan penahanan, menjadi berita hangat
yang memicu timbulnya simpati masyarakat sampai politisi di tanah air.
Kasus ini bermula dari tersebarnya email yang berisi keluhan Ibu Prita
di internet yang oleh pihak RS Omni dianggap merugikan dan mencemarkan
nama baik RS dan dua orang dokternya. Dalam email yang tersebar luas
tersebut, Ibu Prita dengan gamblang menyatakan bahwa RS Omni
International telah melakukan penipuan atas dirinya karena menggunakan
hasil lab yang hasilnya tidak valid untuk memutuskan rawat inap. Hasil
lab yang dimaksud adalah hitung trombosit yang dilakukan dua kali yang
hasilnya 27.000.
Keesokan harinya dokter spesialis yang merawat
mengatakan ada revisi tentang hasil lab yang dilakukan semalam, dan
hasil yang benar adalah 181.000. Inilah yang kemudian dianggap sebagai
penipuan oleh Ibu Prita. Dari keterangan yang ada didalam email tersebut
berupa gejala klinis dan hasil pemeriksaan trombosit awal, memang
seorang dokter segera akan berpikir bahwa itu demam berdarah sebelum
terbukti yang lain, karena Indonesia termasuk daerah endemik demam
berdarah. Trombosit yang 27.000 ribu tersebut sudah termasuk
membahayakan karena potensi terjadinya perdarahan cukup besar. Jadi
berdasarkan pemeriksaan awal, saya kira memang sudah seharusnya Ibu
Prita dirawat segera. Perlu dicatat bahwa nilai normal hitung trombosit
adalah 150.000-300.000/mikroliter (ada variasi nilai normal antar
laboratorium/RS).
Nilai kritis pemeriksaan trombosit adalah 50.000.
Potensi terjadinya perdarahan sangat besar bila nilainya sudah dibawa
20.000. Namun yang mencengangkan saya adalah revisi hasil lab yang
dimaksud keesokan harinya. Apakah revisi tersebut dilakukan dengan
sampel yang sama? Apakah dua kali pemeriksaan awal (sesuai email Ibu
Prita) tersebut dua-duanya salah? Ini sangat kontras dengan apa yang
dijelaskan pihak RS Omni dalam klarifikasinya seperti yang diberitakan
oleh Kompas. Pihak RS dari berita itu hanya melakukan dua kali
pemeriksaan hitung trombosit, dan menyatakan bahwa pemeriksaan pertama
tidak valid karena banyak gumpalan darah. Saya kira disinilah letak
kompetensi laboratorium RS Omni yang harus dipertanyakan. Kenapa bisa
terjadi banyak gumpalan darah?
Darah yang telah diberi anticoagulan atau
antibeku tidak akan membeku, oleh karena itu pihak RS Omni harus
menjelaskan kepada masyarakat mengapa terdapat banyak gumpalan darah di
sampel darah Ibu Prita yang menjadi alasan tidak validnya pemeriksaan
pertama. Secara keseluruhan kasus ini menurut saya hanya karena
kurangnya komunikasi antara dokter dan pasien. Setiap tindakan yang
diberikan kepada pasien seyogyanya memang mesti sepegentahuan pasien. Di
sinilah letak pentingnya informed consent. Dokter-dokter kita
sepertinya masih merasa terlalu sibuk untuk menjelaskan secara sederhana
kepada pasien tentang penyakitnya, diagnosis, prosedur pengobatan yang
akan dilakukan, sehingga mereka lebih memilih untuk memberikan instruksi
berupa resep dan tindakan medis dengan informasi yang seadanya kepada
pasien.
Kasus Prita tersebut adalah salah satu contoh agar nantinya
seorang analis harus memiliki keterampilan dan tanggung jawab yang
besar agar nantinya mereka dapat berhati-hati dalam megerjakan suatu
sampel sehingga mereka dapat mempertanggung jawabkan sampel tersebut.
Sehingga tidak ada lagi kasus Prita lainnya dikemudian hari. Hal ini
juga sudah sepatutnya menjadi pelajaran bagi profesi analis kesehatan
untuk lebih berhati-hati dan lebih teliti. Sama halnya dengan rumah
sakit, rumah sakit adalah kehidupan ideal bagi orang-orang yang punya
jiwa kemanusiaan, rasa sosial dan kemasyarakatan yang tinggi.
Oleh
karena itu profesi di bidang pelayanan jasa medis apapun bentuk
profesinya (Rumah Sakit padat profesi) baik yang berprofesi sebagai staf
medis (dokter), staf paramedis (perawat / bidan) dan staf penunjang
medis lainnya seperti analis kesehatan, apoteker, analis gizi,
fisioterapi, radiographer adalah salah satu dari sekian banyak jenis
pekerjaan yang dianggap mulia. Begitu banyak pengetahuan medis yang
telah disumbangkan ilmuwannya dalam rangka upaya penyembuhan,
penyelamatan dan pemulihan kesehatan umat manusia.
Dan hal ini
seringkali klimaks dan atau antiklimaksnya berakhir di Rumah Sakit,
berhasil atau sebaliknya gagal. Namun alangkah naifnya jika profesi
dibidang kesehatan lebih banyak muatan komersialnya dari pada muatan
pelayanan sosial kemasyarakatan, simplenya dua-duanya harus seimbang
antara pelayanan sosial kemasyarakatan dengan bisnis dan keuntungan.
Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menganalisa sesuatu, adapun etika profesi analis